Minggu, 09 November 2008

Kebebasan Pers Era SBY-Kalla

KALAU berbicara tentang kebebasan pers, maka proses dan efek komunikasi massa tersebut tidak dapat dikaji hanya dari aspek kepentingan tunggal. Terutama, untuk apa kebebasan pers itu Atau, kebebasan pers dari siapa

Setiap tinjauan kebebasan pers, harus ditinjau dari aneka kepentingan (kepentingan yang jamak). Cara tinjauan demikian, diharap dapat menghindarkan implementasi kebebasan pers, seolah tanpa rambu, tanpa batas, di samping bersifat mutlak.

Tinjauan kebebasan pers pada kurun waktu (termasuk era pemerintahan) tertentu, minimal harus beranjak dari kedua pertanyaan tadi. Kedua pertanyaan itu akan memotivasi semangat dan tekad membangun kebebasan pers, sebagai kebebasan manusia yang dilandasi ranah pertanggungjawaban kemanusiaan. Bukan sebagai bentuk penjabaran kebebasan tanpa rambu, tanpa batas, serta bersifat to be or not to be (ada atau tidak, harus ada; bisa atau tidak, harus bisa).

Pertanyaan mendasar pertama adalah untuk apa sesungguhnya kebebasan pers? Apakah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, sebagaimana landasan idealisme dan profesionalitas media massa yang bersifat universal? Ataukah, kebebasan pers ditafsirkan sebagai prasyarat mutlak cara berpikir dan cara bergerak aktualisasi kebebasan (manusia), yang bersifat tan kena ora (mutlak, tidak bisa ditawar).

Jika kita menafsirkan kebebasan pers dalam alur berpikir pertama, kebebasan pers memang pantas, dan seharusnya diperjuangkan serta ditegakkan semua pihak. Baik oleh pengelola media massa, maupun oleh publik media (termasuk rakyat dan pemerintah).

Tetapi, sebaliknya, kalau penafsiran kebebasan pers terjebak kepentingan yang terkandung dalam pertanyaan kedua, justru bisa menimbulkan aneka kendala buat pengelola dan publiknya. Ini disebabkan kebebasan pers seakan kebal (resisten) atas segala bentuk intervensi, baik hukum maupun moral publik



Pemerintahan Silam

Pertanyaan mendasar yang kedua, yaitu kebebasan siapa, harus dijawab dengan benar. Sebab, aktualisasi kebebasan pers menghadirkan pertanyaan, kebebasan pers itu kebebasan dari (kepentingan) siapa? Apakah kebebasan pers adalah kebebasan insan pers atau pengelola media massa semata?

Atau juga kebebasan publik media dalam memanfaatkan jasa pers, khususnya guna memuasi kepentingan sendiri (kepentingan konsumen informasi publik), terlepas dari kepentingan produsen informasi (kepentingan pengelola media massa)?

Berangkat dari muara pemahaman di atas, tidak adil kalau kita menilai pers Indonesia tidak mengenal kebebasan pers di era pemerintahan silam. Pemerintahan Indonesia, mulai di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, sampai Megawati, memberi jaminan kebebasan pers. Hanya saja, pemaknaan aktualisasi kebebasan pers di setiap kurun waktu era pemerintahan, bukan hanya berlainan, tetapi acapkali juga bertentangan.

Hemat penulis, di era pemerintahan Soekarno dan Soeharto, kebebasan pers ada, tetapi lebih terbatas untuk memperkuat status quo, ketimbang guna membangun keseimbangan antarfungsi eksekutif, legislatif, yudikatif, dan kontrol publik (termasuk pers).

Karenanya, tidak mengherankan bila kebebasan pers saat itu lebih tampak sebagai wujud kebebasan (bebasnya) pemerintah, dibanding bebasnya pengelola media dan konsumen pers, untuk menentukan corak dan arah isi pers

Kebebasan pers Indonesia di pemerintahan Habibie, Gus Dur dan Megawati, nyaris tidak menunjukkan perbedaan aktual. Aktualisasi dan fluktuasi kebebasan pers pada ketiga era pemerintahan terakhir dimaksud, lebih ditentukan perkembangan kepentingan pemerintahan (nasional atau daerah), ketimbang kepentingan insan pers dan masyarakat.

Berbeda dengan kebebasan pers di era Soekarno dan Soeharto yang bias pemerintah (mutlak memprioritaskan kepentingan pemerintah), sehingga mengesankan pers menjadi budak pemerintah, atau pers tidak beda dengan buletin negara; di bawah Habibie, Gus Dur dan Megawati, kebebasan pers kita lain lagi. Sekalipun performa pers Indonesia dalam pemerintahan ketiga Presiden RI disebut terakhir bukan lagi corong negara, tetapi - dalam pengertian relatif - kebebasan pers Indonesia berada dalam kendali (samar) pemerintah.

Penilaian demikian eksis, terutama lantaran berbagai delik pers pada kurun waktu tersebut, memosisikan KUHP lebih sebagai landasan hukum penyelesaian kasus konflik pers dengan pihak lain. Padahal, semua orang tahu, filosofi yang melandasi produk hukum buatan kolonial itu, adalah untuk memperkuat fungsi pemerintahan yang berkuasa. Itu sebabnya, mengapa kendati negara dan bangsa kita sudah memiliki UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers (biasa disebut UU Pers), lembaga pengadilan di negeri ini acapkali lebih suka menggunakan KUHP dibanding UU Pers.



Era SBY-Kalla

Tidak fair memang, kalau kita menilai di bawah pemerintahan Habibie, Gus Dur dan Megawati, pers Indonesia tidak mengenal kebebasan. Sebab, justru pada pemerintahan Habibie, Gus Dur dan Mega, kebebasan pers sering dinilai terlampau maju (kebablasen).

Perkara selama ketiga era pemerintahan terjadi pemberangusan kebebasan pers secara amat halus, (dilakukan aparat negara dan tekanan publik), itu persoalan klasik, yang terjadi, dan nyaris selalu eksis, di bawah (rezim) di banyak negara di planet bumi ini.

Sesuatu yang tidak terelak, sejak pemerintahan Soekarno sampai Megawati, adalah langkanya momentum pers Indonesia berkebebasan mutlak. Negatifkah kecenderungan dan fakta tersebut? Tidak, karena kebebasan pers bukanlah kebebasan yang monopolistik milik media massa (absolutely right). Di mana pers bebas sebebas-bebasnya, pers bebas tanpa batas apa pun, dan oleh siapa pun.

Kecenderungan dan fakta disebut terakhir tidak pernah eksis di negeri ini. Kebebasan pers Indonesia tanpa rambu, bebas dari segala bentuk kontrol hukum, moral publik dan landasan nilai-nilai luhur (terutama hak asasi manusia) dan lain-lain, tidak pernah eksis di masa pemerintahan silam.

Kebebasan pers macam ini, mutlak perlu ditegakkan di bawah pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla. Di bawah SBY-Kalla, negara dan bangsa kita membutuhkan kebebasan pers yang bertanggung jawab (free and responsible press). Sebuah perpaduan ideal antara kebebasan pers dan kesadaran pengelola media massa (insan pers), khususnya untuk tidak berbuat semena-mena dengan kemampuan, kekuatan serta kekuasaan media massa (the power of the press).

Di bawah SBY-Kalla, kebebasan pers Indonesia idealnya dibangun di atas landasan kebersamaan kepentingan pengelola media, dan kepentingan target pelayanannya, tidak peduli apakah mereka itu mewakili kepentingan negara (pemerintah), atau kepentingan rakyat. Dalam kerangka kebersamaan kepentingan dimaksud, diharap aktualisasi kebebasan pers nasional kita, sedikitnya lima tahun mendatang, tidak hanya akan memenuhi kepentingan sepihak, baik kepentingan pengelola (sumber), maupun teratas pada pemenuhan kepentingan sasaran (publik media).

Sudut pandang kepentingan ini, dilandasi kajian komprehensif atas keberadaan, fungsi dan peranan pers, sebagai landasan ideal dan praksis kebebasan pers, yang bermuara dari pemahaman teori peluru (the bullet theory) yang dikenal dalam ilmu komunikasi. Teori itu menguraikan kegiatan komunikasi, termasuk pers, berpusat komunikator.

Ibarat peluru yang dibidikkan penembak (komunikator, media massa), akan tepat kena sasaran atau tidak, tergantung kepada kecakapan penembaknya. Penembak jitu, biasanya tidak memubazirkan peluru ke arah atau sasaran lain, kecuali ke titik bidik yang dituju. Karenanya, akan sangat sulit bagi sasaran tembak untuk mengelak atau menghindarkan peluru yang melesat cepat dari moncong senapan sang penembak.

Demikian pula dengan pers. Kecakapan pengelola media massa, merupakan salah satu prasyarat tercapainya tujuan penerbitan media cetak, dan pengudaraan siaran radio serta televisi.

Prasyarat lain seperti bagaimana prosesnya digarap dengan baik dan benar, di samping kemapanan publik, serta prediksi pengaruh pers, memang juga menentukan besar-kecilnya, dan signifikan tidaknya pengaruh media massa, walau kadar signifikasinya antartarget publik media, bisa berbeda-beda.



Arogansi Pers

Ketidakberdayaan publik, harus diapresiasi sebaik mungkin oleh setiap pengelola pers, khususnya guna membangun dan mengaktualisasikan kebebasan pers Indonesia, di bawah pemerintahan SBY-Kalla. Sebab, jika pengelola pers bersikap acuh tak acuh, bahkan melecehkan inferioritas publik atas keperkasaan media massa, akan menimbulkan penolakan, bahkan juga perlawanan publik terhadap media massa

Karenanya, pemerintahan SBY-Kalla, disamping pengelola media, harus berupaya mencegah agenda tersembunyi pers. Isu publik dan materi pers yang banyak disembunyikan oleh pemerintah di bawah kepemimpinan SBY-Kalla, atau dilakukan pengelola media massa sendiri (sadar atau tidak), dapat membentuk kekecewaan publik, baik terhadap pemerintah maupun pers nasional kita sendiri.

Karenanya, selama pemerintahan mendatang, pengelola media sepatutnya tidak mengapresiasi kebebasan pers sebagai penjabatan konkret keperkasaan pers, yang tan kena ora tadi. Karenanya, para insan pers tidak boleh menganggap lantaran publik media mustahil mampu mengelak dari "peluru" pers, membuat mereka (awak pers) boleh seenak hati memberondongkan isi senapannya (informasi pers) kepada publik.

Rasionalitas diuraikan di atas, mendorong seharusnya penerapan teori peluru secara ekstra hati-hati oleh setiap pengelola media cetak dan elektronika (radio, televisi), di era pemerintahan SBY-Kalla. Dalam hal ini, segenap pengelola media harus semaksimal atau seoptimal mungkin mencegah arogansi pers, yang dimungkinkan oleh kekuatan dan keperkasaan media massa pada umumnya.

Dalam konteks kebebasan pers (dengan ideal di atas), pemerintah SBY-Kalla perlu memiliki antibodi yang memadai. Untuk itu, pemerintah tidak boleh berperan di depan (mendahului publik), dalam upaya pengawasan kebebasan pers. Biarlah kegiatan media watch , termasuk pemantauan kebebasan pers dilakukan oleh masyarakat, tanpa melibatkan peran pemerintah. Kecuali jika terjadi konflik (manajemen konflik), sebagai akibat kebebasan pers.

Pemerintah mendatang dituntut untuk mampu mencegah polusi budaya media, imperialisme media, kejahatan media dan lain-lain, tanpa menghadirkan state body yang ekstra dominan menentukan corak pers. Superioritas peran negara, sebagaimana juga superioritas fungsi pers, merupakan bagian dari harapan publik, yang mesti dicegah perwujudannya di era kepemimpinan SBY-Kalla, tanpa harus berarti terjadinya pengekangan kebebasan pers di negeri ini. (18)

Oleh: Novel Ali,


Baca selanjut nya......

Sabtu, 08 November 2008

"Without Media There Can Be No Terrorism!"

HANYA beberapa jam usai tragedi bom di Hotel JW Marriott, Ramadhan Pohan, seorang wartawan Indonesia yang masih menempati posnya di Washington DC, Amerika Serikat, menulis e-mail: "…Saya mengutuk keras para teroris yang-entah atas nama apa pun-keji membunuh korban-korban sipil yang tak punya urusan apa-apa dengan perjuangan dan ideologi mereka

Saya yakin, mereka tidak bertuhan dan amat tak berperikemanusiaan. Sebagai orang Indonesia di negeri asing, saya tak putus meratapi nasib Indonesia kini! Di tengah perekonomian yang masih lusuh, pemberontakan, dan setumpuk masalah lain, bom berkali- kali terjadi! Kita tak kapok, dan terlalu ramah menindak teroris. Media massa Indonesia juga terlalu lembek dalam menghujat dan menohok terorisme!"

Selain pilihan kata-katanya yang lugas, yang paling penting di sini adalah fakta bahwa penulisnya seorang wartawan, bagian dari industri media; dan kebetulan cukup berpengalaman menyaksikan bagaimana media berinteraksi dengan terorisme di berbagai negara lain! Tersentak oleh e-mail itu, saya segera membaca kembali Schmid & Graaf (Violence as Communication: Insurgent Terrorism and the Western News Media; 1982), yang melakukan studi paling komprehensif pertama terhadap hubungan antara kedua elemen itu.

Schmid & Graaf membuka bukunya dengan asumsi, terorisme dan komunikasi massa berkait satu sama lain, lalu mereka membuat pernyataan yang saya pakai sebagai judul artikel ini! Bahkan, dalam deskripsi Johnpoll (1977), kedua unsur itu ditautkan dengan dinamit yang ditemukan tahun 1866 dan mesin cetak yang diperkenalkan tahun 1848 disempurnakan 1881. Sebuah koran bernama Truth pernah secara anarkis mengklaim: "Truth seharga dua sen satu eksemplar, dinamit berharga 40 sen satu pon. Beli keduanya, baca yang satu, gunakan yang lain!"



Teroris memanfaatkan media

Fakta bahwa teroris memanfaatkan media mungkin dapat ditarik jauh ke belakang, antara lain ke kasus pembunuhan Empress Elizabeth (Tuchman, 1972). Pelakunya, Luchini, seorang yang gemar melakukan kliping berita, menyatakan: "Saya telah lama ingin membunuh orang penting agar bisa masuk koran!" Pada tataran teoretis, hal ini dinamakan a violent communication strategy. Sebagai sender adalah si teroris, para korban menjadi message generator, dan receiver adalah kelompok yang dianggap musuh atau publik secara luas.

Karena ruang pada artikel ini terbatas, saya langsung menyampaikan beberapa kemungkinan pemanfaatan media oleh teroris menurut studi Schmid & Graaf, disadari atau tidak oleh pemilik dan praktisi media. Ada 22 penggunaan secara aktif (active uses), antara lain: mengomunikasikan pesan-pesan ketakutan kepada khalayak luas; mempolarisasi pendapat umum; mencoba menarik anggota baru pada gerakan teroris; mengecoh musuhnya dengan menyebar informasi palsu; mengiklankan diri dan menyebabkan mereka merasa terwakili; membangkitkan keprihatinan publik terhadap korban untuk menekan agar pemerintah melakukan kompromi atau konsesi; mengalihkan perhatian publik dari isu-isu yang tidak dikehendaki dengan harapan berita teror mereka mengisi halaman depan media; membangkitkan kekecewaan publik terhadap pemerintah.

Ada delapan penggunaan media secara pasif oleh teroris, sebagian di antaranya: sebagai jaringan komunikasi eksternal di antara teroris; mempelajari teknik-teknik penanganan terbaru terhadap terorisme dari laporan media; mendapat informasi tentang kegiatan terkini pasukan keamanan menghadapi teror yang sedang mereka lakukan; menikmati laporan media yang berlebihan tentang kekuatan teroris hingga menciptakan ketakutan pihak musuh dan mencegah keberanian polisi secara individual; mengidentifikasi target-target selanjutnya; mencari tahu reaksi publik terhadap tindakan mereka.



Media memanfaatkan terorisme\

Di sisi lain, setidaknya ada empat alasan mengapa media "ikut memanfaatkan" peristiwa terorisme. Satu, kejahatan selalu merupakan good news bila perhatian utama hanya menjual koran atau program televisi. Kita bisa balik sampai tahun 1965, ketika kasus pembunuhan disertai perkosaan terhadap dua kakak-beradik di Chicago, menaikkan oplah surat kabar sampai 50.000 eksemplar, jumlah yang amat signifikan kala itu (Sandman dan kawan-kawan, 1976). Ketika Aldo Moro diculik di Italia, sirkulasi koran terbesar Il Corriere naik 35 persen. Saat terbunuh, oplahnya jadi 56,5 persen (Amidei, 1978). Schmid dan Graaf juga memberi perhatian serius pada pengaruh penerimaan iklan yang mendasarkan diri atas mekanisme rating untuk media elektronik.

Dua, media membawa banyak berita dengan kandungan kekerasan karena merasa publik memintanya agar menjadi tahu persis tentang aspek-aspek kehidupan yang mengancam mereka. Namun amat perlu dicatat, kian banyak orang tahu, mereka bisa makin takut ke jalan, akibatnya kontrol masyarakat menjadi berkurang, dan kejahatan dapat bertambah tinggi, lalu media makin sibuk dengan berita kriminal (tentunya dibutuhkan riset ilmiah pada waktu tertentu untuk kasualitas semacam ini).

Tiga, kehidupan khalayak yang "membosankan" karena disiksa rutinitas tidur, berangkat, dan bekerja, membutuhkan berita-berita kekerasan dan seks sebagai thrill (gairah, getaran)! Jadi bisa dimaklumi mengapa kedua jenis berita ini bertaburan setiap hari di televisi! Empat, kadangkala ada sekelompok orang yang menyatakan simpati pada tujuan (baca: misi) para teroris, dan media mengeksposnya karena menganggapnya unik atau demi covering both sides.



Bagaimana sebaiknya

Meski karya Schmid dan Graaf merupakan studi kasus pertama yang komprehensif atas hubungan media dan terorisme, namun mereka tetap tidak bisa tegas memberi jawaban tentang bagaimana peran media sebaiknya. Alali dan Eke (Media Coverage of Terrorism: Methods of Diffusion; 1991) mungkin selangkah lebih maju dalam mencoba menawarkan jawaban! Mereka memakai istilah counterterrorist strategy dan hal itu sungguh tergantung situasi khas di tempat tertentu; dimulai dari strategi media mengurangi ekspos tentang terorisme, tidak terlibat melakukan interpretasi apa pun, sampai menghentikan ekspos tersebut (misal untuk sementara waktu).

Dalam konteks keraguan semacam inilah, usulan seorang wartawan seperti Ramadhan Pohan itu menjadi terdengar "lain". Paling tidak, untuk konteks Indonesia terkini, pernahkah pemilik dan praktisi media kita menghitung, misal dengan content analysis sederhana, berapa bagian media yang digunakan untuk mengekspos terorisme dengan berbagai gaya dan angle (yang juga membuka kemungkinan pemanfaatan para teroris) itu, dan berapa bagian yang sudah kita ciptakan untuk mengutuk tindakan itu secara konsisten; pada headline yang sama-sama eye-catching, dengan bahasa yang lugas!

Bahkan, saat para teroris itu dibawa ke persidangan, mengapa kita terkesan mengambil jeda dalam memperlihatkan "kemarahan" publik? Berapa banyak media kita yang tekun menyampaikan iklan layanan masyarakat antiterorisme (saya baru mencatat satu, di TV 7)?

Akhirnya, satu contoh yang sederhana, begitu sulitkah kita menghindari gambar polisi yang (kadang) tampak tersenyum menggandeng teroris keluar-masuk ruang atau mobil tahanan?

Effendi Gazali


Baca selanjut nya......

Kegamangan Multikulturalisme di Indonesia

Semenjak reformasi dicanangkan pada tahun 1998 di Indonesia—jika kita menggunakan angka tahun itu sebagai titik tolak—isu-isu politik kebudayaan mengemuka dan berkembang cepat. Salah satunya adalah isu multikulturalisme yang dipandang (diduga) dapat menjadi perekat baru integrasi bangsa.

Integrasi nasional yang selama ini dibangun berdasarkan politik kebudayaan seragam dianggap tidak lagi relevan dengan kondisi dan semangat demokrasi global yang juga meningkat sejalan dengan reformasi tersebut. Desentralisasi kekuasaan dalam bentuk otonomi daerah semenjak 1



1999 adalah jawaban bagi tuntutan demokrasi tersebut. Namun, desentralisasi sebagai keputusan politik nasional ternyata kemudian disadari tidak begitu produktif apabila dilihat dari kacamata integrasi nasional suatu bangsa besar yang isinya luar biasa beraneka ragam suku bangsa, agama, kondisi geografi, kemampuan ekonomi, dan bahkan ras.

Di masa lalu, kekuatan pengikat keanekaragaman itu adalah politik sentralisasi yang berpusat pada kekuasaan pemerintah yang otoritarian. Pada masa kini apabila konsepsi multikulturalisme itu digarap lebih jauh, selain dari keanekaragaman di atas, juga persoalan mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan yang juga mengandung kompleksitas persoalan.

Masalah model

Mengikuti Bikhu Parekh (2001) Rethinking Multiculturalism, Harvard University Press, bahwa istilah multikulturalisme mengandung tiga komponen, yakni terkait dengan kebudayaan, konsep ini merujuk kepada pluralitas kebudayaan, dan cara tertentu untuk merespons pluralitas itu. Oleh karena itu, multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik melainkan sebagai cara pandang kehidupan manusia. Karena hampir semua negara di dunia tersusun dari anekaragam kebudayaan—artinya perbedaan menjadi asasnya—dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka multikulturalisme itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara. Namun, yang masih menjadi pertanyaan besar, model kebijakan multikultural seperti apa yang dapat dikembangkan oleh suatu negara seperti Indonesia?

Kita mengenal paling tidak tiga model kebijakan multikultural negara untuk menghadapi persoalan di atas: Pertama, model yang mengedepankan nasionalitas. Nasionalitas adalah sosok baru yang dibangun bersama tanpa memperhatikan aneka ragam suku bangsa, agama, dan bahasa, dan nasionalitas bekerja sebagai perekat integrasi. Dalam kebijakan ini setiap orang—bukan kolektif—berhak untuk dilindungi negara sebagai warga negara. Model ini dipandang sebagai penghancur akar kebudayaan etnik yang menjadi dasar pembentukan negara dan menjadikannya sebagai masa lampau saja. Model kebijakan multikultural ini dikhawatirkan terjerumus ke dalam kekuasaan otoritarian karena kekuasaan untuk menentukan unsur-unsur integrasi nasional berada di tangan suatu kelompok elite tertentu.

Kedua, model nasionalitas-etnik yang berdasarkan kesadaran kolektif etnik yang kuat yang landasannya adalah hubungan darah dan kekerabatan dengan para pendiri nasional (founders). Selain itu, kesatuan bahasa juga merupakan ciri nasional-etnik ini. Model ini dianggap sebagai model tertutup karena orang luar yang tidak memiliki sangkut paut hubungan darah dengan etnis pendiri nasional akan tersingkir dan diperlakukan sebagai orang asing.

Ketiga, model multikultural- etnik yang mengakui eksistensi dan hak-hak warga etnik secara kolektif. Dalam model ini, keanekaragaman menjadi realitas yang harus diakui dan diakomodasi negara, dan identitas dan asal-usul warga negara diperhatikan. Isu-isu yang muncul karena penerapan kebijakan ini tidak hanya keanekaragaman kolektif dan etnik, tetapi juga isu mayoritas-minoritas, dominan-tidak dominan. Persoalannya menjadi lebih kompleks lagi karena ternyata mayoritas tidak selalu berarti dominan, karena berbagai kasus menunjukkan bahwa minoritas justru dominan dalam ekonomi. Jika kekuasaan negara lemah karena prioritas kekuasaan dilimpahkan ke aneka ragam kolektif sebagai konsekuensi pengakuan negara, negara mungkin diramaikan konflik- konflik internal berkepanjangan yang pada gilirannya akan melemahkan negara itu sendiri.

Multikulturalisme

Buku yang disunting Hikmat Budiman ini perlu diapresiasi tinggi karena lima hal. Pertama, khususnya pada Bab Editorial, Hikmat Budiman mengungkapkan secara jernih kondisi dilematis multikulturalisme di Indonesia. Saya sepakat dengan penulis bahwa tidak satu pun dari tiga model dan kebijakan multikulturalisme di atas yang pas untuk kondisi Indonesia. Muncul kegamangan saat berhadapan dengan pertanyaan ”model apa yang sesuai untuk Indonesia?” Kegamangan yang sama ketika Kamanto Sunarto, Russell Hiang-Khng Heng, dan saya menyunting buku ”Multicultural Education in Indonesia and Southeast Asia: Stepping into the Unfamiliar”, (2004), Jurnal Antropologi UI, sebagai hasil suatu lokakarya tentang pendidikan multikultural di Asia Tenggara yang dihadiri pakar-pakar dari Asia Tenggara dan Australia pada tahun itu. Dengan kata lain, perlu pemikiran lebih lanjut secara mendalam suatu model multikulturalisme seperti apa yang seyogianya dikembangkan di Tanah Air.

Kedua, buku ini mengangkat dan membicarakan isu baru dalam wacana multikulturalisme di Indonesia secara komprehensif, yakni isu minoritas, khususnya hak-hak minoritas, yang diperhadapkan dengan isu mayoritas sebagai konsekuensi kalau berbicara dalam wilayah konsep ini. Yang menarik dan penting disimak adalah analisis historis yang merekam peralihan dari kebijakan politik sentralistis ke desentralistis, persoalan-persoalan yang muncul di masa lampau ketika sistem otoritarian itu bekerja, dan agenda persoalan kini yang dihadapi sistem demokrasi yang baru dan gagasan multikulturalisme yang melekat pada sistem demokrasi tersebut.

Ketiga, buku ini membicarakan multikulturalime dari bawah ke atas, yaitu mengangkat realitas empiris lima masyarakat minoritas di lima daerah di Indonesia, yakni komunitas Sedulur Sikep (orang Samin) di Jawa, oleh M Uzair Fauzan; pemeluk Wetutelu, Wet Semokan, Nusa Tenggara Barat, oleh Heru Prasetia; masyarakat Dayak Pitap, Kalimantan Selatan, oleh Riza Bachtiar; masyarakat di Cagar Alam Wana, Morowali, Sulawesi Tengah, oleh Ignatius Yuli Sudaryanto; dan masyarakat Tanah Toa, Bulu Kumba, Sulawesi Selatan oleh Samsurijal Adhan. Pendekatan dari bawah ke atas ini adalah ciri penting dari pendekatan kualitatif yang berupaya membangun suatu model di akhir kajian. Hal ini membedakan dari perbincangan mengenai multikulturalisme dan minoritas yang dimulai dari konsep yang dibawa dari luar untuk menjelaskan realitas di lapangan.

Keempat, meski dengan rendah hati editor mengemukakan bahwa sebagian dari penulis adalah masih peneliti yunior, saya justru menemukan tulisan- tulisan hasil penelitian ini seharusnya ditampilkan para penulis-peneliti senior. Isu, tema, dan analisis setiap tulisan menggambarkan penguasaan materi dan pendekatan yang baik sehingga secara keseluruhan buku ini penting dan bermutu untuk memberikan pemahaman kepada kita mengenai minoritas dan multikulturalisme itu baik dari segi konsep maupun model kebijakan politik kebudayaan.

Kelima, karena secara khusus menyoroti hak-hak minoritas, maka sangat relevan bahwa buku ini memasukkan dua tulisan penting, yakni tentang agama dan kebudayaan, isu minoritas dan multikulturalisme di Indonesia (Mochammad Nurkhoirun) serta hak-hak kelompok minoritas dalam norma dan standar hukum internasional hak asasi manusia (A Patra M.Zen). Dengan dua tulisan ini, buku ini membebaskan dirinya dari isolasi konsepsi lokal dan nasional karena isu multikulturalisme dan minoritas adalah juga isu global.

Saya sependapat dengan Hikmat Budiman bahwa tidak banyak karya yang terbit dengan pembahasan yang komprehensif mengenai multikulturalisme untuk konteks Indonesia. Apalagi kalau multikulturalisme tersebut dikaitkan dengan isu-isu lain yang melekat seperti minoritas, khususnya hak-hak minoritas. Maka, buku ini sangat penting bagi kita yang menaruh minat pada multikulturalisme dan minoritas khususnya, integrasi bangsa umumnya.

Achmad Fedyani Saifuddin

Baca selanjut nya......

Pengantar "Manusia Bugis": Lapis Waktu

Setiap kali membaca buku sejarah dan kebudayaan yang ditulis dengan baik, setiap kali pula kita merasa berhadapan dengan sebentang peta yang digambar dengan apik. Yang ditemui di dalam karya itu memang bukan melulu lembaran peta ruang dengan bidang, jarak, koordinat, dan nama-nama tempat. Yang dihadapi di sana lebih merupakan peta waktu yang bergerak menjawab—sekaligus menciptakan—berbagai perubahan. Dan waktu yang dipetakan di sana adalah waktu yang silam, waktu yang dulunya ditakdirkan terkubur hilang dari pengetahuan manusia, atau mungkin tersisa sebagai reruntuhan yang tak lagi utuh, yang dijerat dalam berbagai bentuk fiksi.

Tentang waktu yang hilang ini, seorang sastrawan Perancis yang mengarang novel paling kompleks di abad ke-20 yang baru lewat menulis: ”Dan demikian pula dengan masa silam kita. Adalah kerja yang sia-sia untuk merengkuhnya kembali: segala upaya intelek kita niscaya akan berujung gagal. Masa silam lenyap sembunyi di luar telatah pengetahuan, di seberang jangkauan intelek, di dalam obyek-obyek bendawi (dalam sensasi yang akan diruahkan oleh obyek-obyek bendawi itu pada kita) yang keberadaannya tak menilaskan



pratanda apa pun. Dan bergantung pada nasib dan peluang buta belaka, dapat tidaknya kita bersua dengan obyek-obyek itu sebelum pada akhirnya kita meninggal.” — Marcel Proust, In Search of Lost Time.

Tanpa memperkecil peran para cendekiawan Eropa lainnya, para cendekiawan Perancis tampaknya memang punya tempat khusus dalam gagasan tentang pemetaan waktu. Di simpang abad ke-19 dan ke-20, Marcel Proust dan Henri Bergson menggarap waktu yang berdenyut di dalam diri manusia, sementara Henri Poincare menggarap waktu kosmis yang dalam beberapa hal mendahului Albert Einstein. Di antara waktu kosmis dan waktu personal itu, ada waktu sosial—waktu sejarah. Di paruh pertama abad ke-20 sekumpulan ilmuwan Perancis yang kelak disebut sebagai ”Mazhab Annales” membentuk pendekatan baru dan revolusioner atas waktu sejarah. Dipelopori oleh Lucien Febvre dan Marc Bloch, dan dikukuhkan lebih jauh antara lain oleh Fernand Braudel, berkembanglah pendekatan interdisipliner atas sejarah yang dikenal sebagai Total History. Di Indonesia pendekatan ini jelas terlihat pada karya-karya keilmuan Anthony Reid yang sangat berharga, dan terutama pada tiga jilid karya raksasa Denys Lombard, Le Carrefour Javanais.

Dalam waktu yang hampir bersamaan dengan terbitnya versi bahasa Indonesia karya raksasa Lombard itu, Nusa Jawa: Silang Budaya (Jakarta: Gramedia, 1996), terbit pula edisi bahasa Inggris dari karya besar Christian Pelras, The Bugis (London: Blackwell, 1996). Tampaknya betul bahwa setiap upaya intelektual yang dimatangkan oleh waktu dan tekanan adalah sebutir intan yang amat berharga. Buku Pelras yang ditopang oleh riset lapangan yang luas selama empat puluhan tahun ini adalah salah satu dari intan yang berharga itu. Ia akan melengkapi rangkaian intan yang sudah ada dalam khazanah pengetahuan sejarah kita, baik di Indonesia maupun di Asia Tenggara. Buku ini menjernihkan beberapa cahaya Manusia Bugis yang berkilau membutakan, sekaligus memperterang sejumlah cahaya lain yang redup oleh informasi yang tak memadai.

Meski banyak menganggap jazirah selatan Sulawesi sebagai sumber akar dan kampung halamannya, orang-orang Bugis hidup menyebar cukup luas di Asia Tenggara. Jejaknya terlihat di sejumlah tempat di wilayah utara dan barat laut Australia. Manusia Bugis yang jumlahnya sekitar empat juta jiwa itu, sebagaimana dinyatakan dalam buku ini, adalah salah satu di antara masyarakat paling menakjubkan di Asia Tenggara dan Pasifik, dan juga yang paling sedikit diketahui. Salah satu cahaya yang coba dijernihkan buku ini adalah citra mereka yang menyilaukan dalam legenda dan fiksi modern di mana mereka banyak dihadirkan sebagai lalu diidentikkan dengan bajak laut yang menggetarkan dan niagawan budak yang menggiriskan; seakan-akan perompakan di laut lepas sekaligus perdagangan budak belian adalah mata pencarian alamiah dan satu-satunya yang mampu dikerjakan oleh Manusia Bugis.

Tentu saja ada, dan banyak, orang Bugis yang hidup meniti buih di samudra luas. Namun, sebagian besar di antara mereka, terutama yang hidup di kampung halamannya, dalam kehidupan nyata memang adalah petani, pekebun, pedagang, dan nelayan pantai. Richard Leaky, pakar ternama asal-usul manusia, tentu akan menandaskan bahwa orang Bugis adalah bagian dari umat manusia yang nenek moyang terdekatnya adalah peramu dan pemburu; dan yang menjadi spesies modern karena membangun kemampuan beradaptasi yang mencengangkan, membangun bahasa, seni, sistem nilai, dan kecakapan teknologis.

Bahwa orang-orang Bugis adalah salah satu masyarakat Asia yang menjadi pemeluk teguh ajaran Islam, sudah ditegaskan oleh cukup banyak kepustakaan. Begitu teguh mereka memeluknya sehingga Islam dijadikan bagian dari jati diri mereka. Di Tanah Bugis orang bahkan bisa membuka sejarah perang pembebasan budak dua setengah abad lebih sebelum perang pembebasan budak meletup jadi perang saudara di Amerika Serikat. Namun, seperti juga dibahas oleh buku ini, masyarakat Bugis yang sangat dalam menyerap Islam itu di banyak wilayah tetap mempertahankan berbagai bentuk peninggalan religio-kultural pra-Islam.

Sementara itu, trah bangsawan tradisional Bugis yang selama ratusan tahun menempati lapisan teratas tatanan masyarakat, menandaskan diri sebagai keturunan langsung dari dewa-dewa purba. Namun, trah ningrat penuh warna ini bukanlah despot dengan kekuasaan absolut: mereka memperoleh kekuasaan dengan semacam konsensus sosial yang ditandaskan oleh rakyat yang menawarkan kekuasaan itu kepada mereka.

Di Tanah Bugis, dan di tanah saudara-saudaranya di Sulawesi Selatan, rakyat memang lebih dahulu ada ketimbang raja. Dan rakyat yang tak puas pada pemerintahan seorang raja bisa bertindak memakzulkan raja tersebut, atau membubarkan diri sebagai rakyat lalu berpindah menyeberangi laut untuk mendirikan komunitas baru yang lebih bermartabat, sambil mungkin tetap membawa cerita tentang tappi’ (pendamping jiwa), tentang kawali dan badik, yang memilih tuannya sendiri.

Pertautan antara hal-hal yang tampak bertentangan oleh Pelras dianggap sebagai salah satu kekuatan utama masyarakat Bugis. Buku yang bukan sekadar terjemahan tetapi penyempurnaan dari edisi bahasa Inggris ini mengangkat cukup banyak pertautan antara hal-hal yang tampak bertentangan itu. Membaca buku ini, kita pun bisa menyimpulkan bahwa Sulawesi memang istimewa bukan hanya secara geo-ekologis tetapi juga secara sosio-historis. Dari Alfred Russell Wallace kita mendapat penegasan betapa geologi dan ekologi Sulawesi berbeda dari geologi dan ekologi kawasan barat Nusantara yang menjadi bagian Asia, sekaligus juga berbeda dari geologi dan ekosistem kawasan timur Nusantara yang menjadi bagian Australia.

Dengan cara yang lain, Pelras mencoba menunjukkan bahwa di masa silam masyarakat di Sulawesi, khususnya masyarakat Bugis, menempuh sejarah yang berbeda dari Masyarakat Jawa yang begitu dalam menerima pengaruh India, proses yang oleh Lombard disebut sebagai ”mutasi pertama” dunia Jawa. Ada sejumlah argumen yang diajukan Pelras, tetapi yang paling menarik adalah kenyataan yang oleh Pelras dianggap istimewa, yakni kemampuan masyarakat Bugis membangun kerajaan-kerajaan yang tak berpusat di kota-kota. Kemampuan ini tentu merupakan kontras dari masyarakat Jawa yang kerajaan-kerajaannya berpusat di ibu kota yang ditata menurut sebuah struktur konsentris.

Hal lain yang menarik dari masyarakat Bugis adalah bahwa sekalipun mereka telah membangun kerajaan-kerajaan yang tidak berpusat di kota-kota, mereka juga membangun sejumlah struktur epistemik yang bisa dikatakan berpusat. Yang paling menonjol di antara semua struktur itu adalah epik mitologis La Galigo. Narasi besar yang berkisar pada apa yang dianggap sebagai genesis manusia dan kerajaan tertua yang dijunjung di Tanah Bugis ini adalah pusat yang dengannya masyarakat Bugis Lama menjangkarkan dan menata diri. Yang tertarik ke dalam gravitasi dan kemudian mengorbit di sekitar epik mitologis La Galigo ini bukan lagi kerajaan-kerajaan Bugis tapi juga beberapa kerajaan dan komunitas lain yang ada di luar semenanjung selatan Sulawesi. Tentu bukan hanya karena fungsi penataan dan pengaturan dunia yang disediakan oleh narasi raksasa La Galigo ini, yang ikut mendorong Pelras menjadikan La Galigo sebagai bahan bagi sebuah rekonstruksi hipotetik prasejarah Bugis.

Paling luas

Walau belum sebanyak kepustakaan tentang Jawa, kepustakaan tentang Bugis sudah banyak juga yang terbit. Sarjana-sarjana Bumiputera sendiri, seperti HA Mattulada dan Hamid Abdullah untuk menyebut beberapa nama, telah menghasilkan karya intelektual yang cukup penting di bidang ini. Namun, yang menarik dari karya Pelras adalah bahwa buku inilah yang pertama dan yang sejauh ini paling luas mengurai sejarah orang-orang Bugis. Cakupannya terentang dari kurun fajar antropologis sekitar 40.000 tahun yang silam yang darinya kelak memunculkan leluhur masyarakat Bugis, kurun peradaban awal yang sejumlah unsurnya dibingkai dalam siklus La Galigo, hingga ke masa kini—masa masuknya masyarakat Bugis menyongsong fajar alaf ketiga, setelah melebur diri ke dalam satuan sosial politik yang lebih besar.

Telaah Pelras yang luas dan telah menyedot hampir 2/3 dari usianya itu seakan mengupas lapis-lapis waktu yang membentuk sejarah dan kehidupan masyarakat Bugis: lapis-lapis waktu yang tanpa kegigihan para ilmuwan seperti Pelras akan benar-benar tertimbun lenyap di luar ranah pengetahuan, di seberang jangkauan jernih intelek.

Proust agaknya betul bahwa tergantung pada unsur nasib dan peluang saja seseorang dapat bersua dengan obyek bendawi dan sensasi yang diruahkan oleh obyek bendawi itu, yang memungkinkan seseorang menemukan dan menghidupkan kembali masa-masa yang sudah silam itu.

Dalam hal masyarakat Bugis, agaknya unsur kebetulan dan nasib baik—yang bagi sebagian cendekiawan Bugis bahkan terasa nyaris mendekati berkah—itu pula yang membuat mereka mendapatkan seorang Christian Pelras, seorang ilmuwan yang praktis tak punya hubungan kekerabatan apa pun dengan masyarakat Bugis, kecuali sekadar kekerabatan sebagai sesama anggota subspesies Homo sapiens sapiens.

Sudah umum diketahui bahwa sejak beberapa dekade yang silam, upaya-upaya intelektual para ilmuwan Barat mengaji negeri-negeri Timur telah mendapat tanggapan kritis bahkan mungkin sinis, dan mereka pun sebagian dicap orientalis yang merupakan perpanjangan tangan nafsu imperial untuk menundukkan Timur. Para ilmuwan Timur pun berupaya memanggul tanggung jawab meneliti dunia mereka sendiri, dan beberapa di antaranya telah menghasilkan karya dengan mutu intelektual yang menonjol. Apa yang dilakukan oleh sejumlah ilmuwan asing di negeri-negeri yang dikajinya, sebagiannya memang berupa penggambaran peta yang tak jarang sangat simplistis dan digunakan untuk membekukan sekaligus menundukkan wilayah itu. Namun harus juga diakui bahwa sejumlah peta sejarah yang dihasilkan oleh para ilmuwan asing itu sungguh lebih halus dan lebih realistis dari kebanyakan peta yang digambar atau diangankan oleh para cendekiawan pribumi sendiri. Peta masa silam Jawa yang disajikan Lombard, dan peta masa silam Bugis yang dihadirkan Pelras, adalah contoh dari peta-peta yang dimaksud.

Di bagian akhir buku ini Pelras mengangkat pertautan masyarakat Bugis kontemporer ke dunia global mutakhir yang berlangsung relatif tanpa guncangan dan penolakan kultural. Pertautan ke dunia yang sedang tumbuh itu, yang bagi sejumlah besar Bugis bahkan menjadi pilihan satu-satunya untuk tegak sebagai manusia, terdedah jelas dalam pemaparan naiknya lapis pemimpin dan masyarakat baru Bugis yang mengandalkan bukan pendakuan silsilah supramanusiawi. Mereka bangkit (tompo’) antara lain karena keyakinan akan nasib (toto’) yang wajib ditawar dan dibentuk sendiri di tengah segala keperitan, dan penguasaan pengetahuan rasional yang diserap dari berbagai tempat di luar Tanah Bugis, sampai ke belahan bumi yang lain.

Ada memang sejumlah anasir dalam kebudayaan Bugis yang membuat perengkuhan atas dunia global mutakhir—yang menaruh hormat pada gagasan tentang universalitas akal yang menuntun dan manusia yang bertindak—menjadi sesuatu yang tampak organik. Pelras misalnya menyajikan bagaimana kebudayaan Bugis menyediakan ruang bagi gender ketiga dan keempat (calabai dan calalai), dan bagaimana perempuan menduduki tempat yang benar-benar sejajar dengan lelaki, dengan hak setara dalam merumuskan kebijakan-kebijakan kerajaan sekaligus bertakhta memerintah kerajaan itu. Dalam sejumlah peristiwa, bahkan di masa ketika abad ke-20 belum menjelang tiba dan Simone de Beauvoir belum mengarang The Second Sex, perempuan telah tampil lebih bernyali dan berotak dari para lelaki, menandaskan keputusan-keputusan penting yang mempertaruhkan masa depan kerajaan.

Kesetaraan gender dan penyediaan ruang pada gender yang lain itu adalah sebagian dari hal-hal yang membuat tercengang banyak penjelajah Eropa yang pernah singgah di Tanah Bugis. Meski tak terlalu panjang lebar, Pelras menyajikan banyak hal dari tradisi Bugis yang tampak mendahului zamannya, yang beberapa di antaranya juga terdapat di bagian lain di Asia dan Pasifik, dan dengan itu menyangkal sekali lagi banyak gagasan usang tentang Dunia Timur, sekaligus menandaskan adanya kesamaan dan potensi universal umat manusia yang akan berkembang rimbun jika keadaan dibuat memungkinkan.

Mungkin kelak akan ada orang yang dengan bekal antara lain peta Bugis Pelras berhasil mengangkat sejumlah tempat penting yang telah tertimbun waktu, namun senantiasa disebut dalam puisi epik La Galigo. Kemungkinan lain adalah bahwa sejumlah ilmuwan dan peneliti, dengan bantuan teknologi yang makin halus, akhirnya membuktikan betapa peta yang disusun Pelras ternyata, pada beberapa bagian, memang tak terlalu akurat menggambarkan keadaan yang sesungguhnya.

Namun, bahkan sejarah kartografi dunia pun dipenuhi oleh sejumlah kekeliruan yang terus-menerus dikoreksi; kekeliruan yang selain telah membantu manusia mengubah dunia di abad-abad yang silam, juga kini dihargai sebagai karya seni yang ikut merekam perkembangan pandangan dunia manusia.

Peta waktu Bugis Pelras pun, termasuk peta prasejarah yang dengan tegas dan rendah hati dikatakannya sebagai hipotetik itu jelas akan membantu banyak pihak, bukan hanya Manusia Bugis yang terus berupaya membentuk masa depannya sekaligus masa depan tempat-tempat di mana kaki-kaki fisiologis dan imajiner mereka berpijak.

Di tangan para sarjana seperti Lombard, Pelras, dan sederet nama lain, etnologi dan etnografi yang punya akar pada pelukisan kehidupan bangsa-bangsa yang dianggap barbar, berkembang menjadi persembahan yang hangat dan murah hati dari satu bangsa ke bangsa yang lain, sesuatu yang sungguh kian dibutuhkan dalam dunia yang memang tak punya batas yang tak tertembus, namun yang kadang masih ingin disekat dan dibuat kedap oleh batas-batas bikinan manusia sendiri.

Nirwan Ahmad Arsuka

Baca selanjut nya......

Menafsir Makna "Ditata" dalam Tayub

TAYUBAN sebagai sebuah tradisi masyarakat Jawa Timur, Jawa Tengah, maupun Daerah Istimewa Yogyakarta sebenarnya hanyalah sebentuk tarian. Seperti halnya cokek, yang dikenal dalam kebudayaan masyarakat Betawi. Dalam asumsi antropologi budaya, kebudayaan banyak dilahirkan dari suatu peristiwa sejarah yang menyakitkan.

Perasaan tertekan sebagai akibat kehidupan di era feodal dan kolonial ditransformasikan ke dalam bentuk seni pertunjukan. Meski dari awal tayub adalah seni gambyong istana, pada perkembangannya harus keluar dan terdegradasi menjadi seni rakyat, yang makin hari dipandang dari sisi mesumnya, berkualitas rendah, dan bertendensi prostitusi. Prof Dr Suripan Sadi Hutomo (alm), pakar filologi dan folklor humanis, pernah melukiskan bahwa pada tingkatan seni rakyat yang lebih rendah lagi, tayuban mengalami perubahan.



Kesenian ini dinamakan janggrungan, di mana waranggono (ronggeng, tandak, kledek, taledek, ledek) ngibing di antara para blandhong (penebang kayu) di pinggir hutan demi nafkah. Cliffort Geertz menyebutnya sebagai penari jalanan-di Yogyakarta dikenal dengan mbarang-yang seringkali juga ngamen dari rumah ke rumah atau pada suatu keramaian. Padahal, dengan menelusuri tayub dari kajian etimologi akan ditemukan kondisi yang bertolak belakang. Soegio Pranoto-sesepuh tayub asal Nganjuk-meng-kiratabasa-kan tayub sebagai ditata ben guyub (diatur agar tercipta kerukunan), sebuah filosofi yang ditanamkan pada tayub sebagai kesenian untuk pergaulan. Nilai dasarnya adalah kesamaan kepentingan untuk mengapresiasikan kemampuan, jiwa, dan bakat seni, baik kemampuan sebagai penabuh gamelan (pengrawit) ataupun penarinya. Kesamaan ini akan melahirkan keselaras-serasian tayub sebagai suatu bentuk tarian; hentakan kaki yang sesuai dengan bunyi kendang, lambaian tangan seirama gambang, atau lenggok kepala pada tiap pukulan gongnya. Meski pada perkembangannya, "pergaulan" dimaknai-secara luas-sebagai bentuk silaturahmi.

Di daerah Malang, Pasuruan, Madiun dan Kediri, misalnya, wujud dari silaturahmi ini berupa ikatan bowo-an-di Kediri dikenal dengan mbecek-di mana setiap orang memiliki tanggung jawab untuk saling memberi dan mengembalikan bantuan. Tradisi ini terkait erat dengan peristiwa hajatan, baik pernikahan, khitanan, ataupun kematian.Dan, menjadikan tayub di daerah ini identik sebagai pertunjukan resmi dalam hajatan. "Orang yang nanggap tayub itu orang yang blater (pergaulannya luas)," tutur Samad Heriyanto, seniman tayub asal Malang. Semakin luas ikatan bowo-an yang dimiliki seseorang bisa dipastikan semakin ramai pelaksanaan hajatannya.

Paradoks atas kondisi tayub saat ini tidak lepas dari lemahnya kemampuan masyarakat memahami kebudayaan sebagai dasar dalam proses kehidupan. Kelompok seniman bisa saja mengukuhkan dirinya sebagai komunitas yang otonom dan mandiri.



Komunitas religi

Dalam Theater in Southeast Asia, JR Brandon menuturkan pernyataan bahwa Islam tidak membenarkan adanya figur dalam keseniannya. Pemikiran ini ditetapkan juga dalam seni pertunjukan. Akibatnya, daerah-daerah yang mempunyai identitas Islam yang kuat biasanya tidak memiliki seni pertunjukan yang profesional. Secara implisit hal ini berarti bahwa daerah-daerah tersebut tidak membantu tumbuhnya seni pertunjukan tradisional tertentu, yang ditolak oleh ajaran religi yang dianutnya. Kebenaran atas pernyataan Brandon ini sekiranya perlu untuk dibuktikan. Sebab, masih ada ronggeng dan dombret yang tumbuh di dalam kebudayaan dengan identitas Islam yang kuat; masyarakat Betawi, yang secara geografis dekat juga dengan masyarakat Sunda. Tentunya, hal ini tidak terkait dengan faktor kepemilikan atas kesenian tersebut, yang kebanyakan dipegang oleh orang Islam yang tidak taat pada prinsip-prinsip Islam (abangan).

Namun, konteks dari pernyataan Brandon ini dapat ditemui dalam kesenian tayub. Di mana tayub memang tumbuh berkembang pada daerah yang tidak memiliki identitas Islam yang kuat. Di Jawa Timur, perkembangannya pesat pada wilayah Tuban, Bojonegoro, sisi selatan dari Lamongan, Surabaya, pinggiran Kabupaten Pasuruan sampai Malang, Nganjuk, Tulungagung, dan Madiun.

Sikap menolak ini seringkali juga diwujudkan dengan bentuk menjauhi pelaku dan seniman yang terlibat di dalamnya. Sebagai Ketua RW, Soeripto lebih bisa merasakan sikap warganya tersebut. Pada suatu kesempatan, Soeripto bersiap keliling RT untuk menarik sumbangan dengan map ditenteng di tangan.

Alasan dosa merupakan dogma dan titik mati atas suatu aksi atau gerak. Hal ini didasarkan pemahaman akan teks dan konteks ajaran agama. Akibatnya, seperti tidak ada kebenaran dan kemaslahatan pada setiap gerak yang mengandung dosa. Bahkan, yang ada hanyalah mudaratnya. Dalam tayub, gerak dan aksi itu, menurut Soegio Pranoto, adalah suwelan dan meminum minuman yang memabukkan. Padahal, hakikat suwelan adalah pemberian uang kepada waranggana oleh seseorang setelah ngibing. Ini dilakukan sebagai ucapan terima kasih atas kesempatan untuk ngibing bersamanya. Nilai dan jumlah suwelan tidak ditentukan, tergantung kemampuan. Namun, cara pemberiannya yang unik; suwelan biasanya diselipkan pada belahan payudara waranggana. Bisa pada bagian luar atau juga ada yang diselipkan lebih dalam lagi pada sisi-sisi payudara. Tentunya, pemberi suwelan berharap tidak sekadar memberi sebagai bentuk afinitas afektifnya.

Adanya penolakan atas proses pemberian suwelan ini sedikit demi sedikit membawa perubahan. Suwelan kini telah diatur cara pemberiannya melalui seorang pramugari-orang yang mengatur jalannya tayub-atau bisa diselipkan di balik sampur waranggana, tepatnya di atas bahu. Bahkan, di Malang, sejak tahun 1976, oleh Samad Heriyanto diusulkan untuk pemakaian baju bagi para waranggana saat ngibing.

Sementara minuman keras dalam tayub, menurut Soegio Pranoto, pada awalnya difungsikan sebagai penghormatan kepada tuan rumah, pemuka desa, dan para undangan. Bila minuman yang ditawarkan oleh waranggana kepada tuan rumah diminum, itu tandanya pengunjung pertunjukan tayub juga boleh meminum minumannya.

Fungsi lainnya, dengan minuman ini diharapkan bisa membantu sugesti dan kepercayaan diri seseorang untuk ngibing. Namun, pada era 1970-an, menurut Samad Heriyanto, tayub mulai dijajah oleh minuman keras. Minuman sekarang bukan lagi berada di dalam lingkaran area tayub dan sudah beraneka macam merek yang disediakan.

"Inilah kesalahan agamawan di Indonesia," kata KH Ahmad Musta’in Syafi’i, MAg, pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, menegaskan. Dengan hanya berbasis pada fikih, mereka cukup memandang gerak dan aksi untuk menghukumi. Dan, hukumannya hanya ada halal dan haram.

Pada kelompok tertentu bisa sampai menghilangkannya. Musta’in-dosen pada Institut Keislaman Hasyim Asy’ari (Ikaha)- menyayangkan dianutnya fungsi hakim ini daripada peran sebagai pendidik. Konteks kesenian, terutama seni pedesaan, memiliki hakikat sebagai ekspresi dan semangat untuk dekat dengan kepercayaannya. Bentuknya bisa dengan tari, ritual seperti bersih desa atau keyakinan pada danyang (penunggu). Seharusnya, pendekatan awal yang digunakan ada pada sisi akidah (teologi); biarkan seni tayub berkembang, ambil positifnya lalu masuki dan arahkan.



Aparatur lokal

Tahun 1965, Partai Komunis Indonesia (PKI) melakukan gerakan yang membuat situasi nasional berubah. Kesenian tradisional pun mengalami masa kritis. Manifestasi Lekra -Lembaga Kebudayaan Rakyat yang berafiliasi pada PKI- pada kebudayaan menjadikan seniman mati ekspresi. Sebab, ada ketakutan akan menjadi bentuk partisipasi dan sikap politik Lekra. Pada masa ini, ABRI menggelar Operasi Karya, yang salah satunya dilakukan dengan menaungi kesenian tradisional. Muncullah Ludruk Wijaya Kusuma dan Bhirawa (AD), Ludruk Bumi Hamka (Marinir), dan Ludruk Bhayangkara (Kepolisian).

Bentuk dari penataan ini, terutama pada perizinan, terkait dengan penyelenggaraan keamanan dan ketertiban umum. Meski besar biaya perizinan bervariasi di tiap daerah dan ditanggung oleh tuan rumah, tetapi esensi dari izin tersebut tidak bisa dirasakan.

Di Malang, biayanya berkisar Rp 500.000 sampai Rp 1 juta. Tetapi, saat pertunjukan, seringkali tidak ada petugas keamanan yang datang menjaga. Apalagi menertibkan pengunjung yang mabuk, berbuat rusuh, atau menggoda waranggana. Padahal, menurut Samad, bila mereka datang, itu merupakan kehormatan bagi tuan rumah. Dikasih makan dan rokok, duduk berjajar di baris depan, ngibing, bahkan pulangnya sering menerima angpao.

Perizinan lainnya, seperti di Nganjuk, Tuban, dan Malang, adalah diterbitkannya advise (nomor induk) bagi waranggana. Tanpa advise ini, seorang waranggana dilarang untuk pentas dan minimal setahun sekali harus memperbarui advise ini. Biayanya mungkin tidak terlalu besar, sekitar Rp 50.000, tetapi cukup menunjukkan adanya peran negara dalam mematikan kehidupan, jiwa, dan bakat seni seseorang.

Ini bisa dilakukan mengingat di Nganjuk dan Tuban menunjukkan aktivitas yang tinggi dalam penyelenggaraan tayub. Nganjuk memiliki agenda Wisuda Waranggana, berpusat di Padepokan Langen Tayub, Desa Ngrajek, Tanjunganom, Nganjuk. Acara ini digelar setiap tahun di bulan besar (Jawa). Setelah penempaan selama 6 bulan dari olah vokal hingga tari, calon waranggana akan diwisuda di lokasi sekitar punden Ki Ageng Gribig.



Di Tuban, menurut Sutardji, Kepala Bagian Kesenian Dinas Pariwisata Tuban, setiap tahunnya terdapat 1.500-3.000 kali pertunjukan tayub. Bahkan, sampai dengan tahun 2004 sudah ada yang booking pementasan, sedangkan tahun 2003 ada 158 izin pementasan. Dinas Pariwisata Tuban, November 2002 lalu, menggelar Citra Resmi Waranggana, acara tahunan untuk meresmikan (mewisuda) waranggana baru.

Bagi Endang Sugiarti, waranggana senior, acara ini semakin memberatkan calon waranggana. Sebab, segala kebutuhan untuk wisuda menjadi tanggungan pribadi, bukan dari Dinas Pariwisata. "Jumlahnya besar, bisa jutaan. Sewa dokar, pakaian, pendaftaran, sampai make-up," tuturnya. Tayub dan senimannya saat ini menjadi obyek negara. Fungsi fasilitator berubah menjadi eksekutor, atas hak hidup profesi seni seseorang. Menafsir kembali makna tayub sebagai ditata ben guyub, adalah menata kembali kepentingan negara terhadap tayub .

Terakhir, penulis ingin menyampaikan satu pesan dari Samad Hariyanto kepada Pemerintah Kota Malang, "Apa, sih, perhatian mereka pada tayub. Sebagai insan tayub, saya belum pernah itu dikumpulkan, diajak ngobrol. Ketemu paling cuma waktu pengurusan izin."

Oleh: MAS BUKHI Pemerhati masalah budaya dari Malang



Baca selanjut nya......